ENGKAU tidak bisa protes, hai lelaki. Bahwa perempuan memang lebih
tinggi ketimbang kita. Barangkali engkau pernah mendengar bahwa Nabi
Saw. menyebut sosok perempuan (ibu) sebanyak tiga kali sementara lelaki
(ayah) hanya satu kali. Itu jawab Nabi kala ada sahabat yang bertanya,
tentang siapakah yang mesti didahulukan penghormatannya.
Ragam kisah pun sudah menggambarkan kepada kita, betapa permata seorang
ibu. Mungkin engkau pernah menyimak, bagaimana seorang lelaki
menggendong ibunya untuk bertawaf di ka’bah. Lelaki itu menggendong
ibunya dari tempat yang sangat jauh. Bertemulah dia dengan Nabi Saw,
lalu bertanya, “Apakah sudah lunas utang budiku kepada ibuku?”
Lelaki tersebut tidak mendapatkan pengaminan dari sang Nabi. Karena apa yang dilakukannya belumlah seujung kuku.
Lalu, kita pun akan menjumpai kisah kontemporer. Tentang citra-citra
anak yang durhaka dan mendapatkan kutukan mengerikan. Salah satunya
barangkali Malin Kundang. Atau, Al Qamah di zaman Rasulullah. Mereka
adalah aktor-aktor yang berperan sebagai manusia durhaka yang mengalami
kesakitan di akhir hayat, tersebab oleh hal yang sama; mendurhakai
ibunya, mendurhakai perempuan.
Sebuah tanya besar lantas menggantung dalam benak kita; kenapa Nabi Saw. mewartakan bahwa kaum perempuanlah terbanyak di neraka?
Mungkin, karena fitrah perempuan adalah bengkok. Karena dia tercipta dari rusuk Adam.
Hal ini pun lalu menjadi sebuah informasi yang banyak disalahguna para
lelaki. Para lelaki mengklaim bahwa kebengkokan perempuan ini mestilah
diluruskan. Siapa yang meluruskan, tentu para lelaki (karena mereka yang
memiliki klaim). Untuk mengesahkan klaim ini, para lelaki lalu
menambahkan bahwa tabiat rusuk memang bengkok dan mesti pelan-pelan
meluruskannya. Karena tulang rusuk begitu rapuh, dan semacamnya. Itulah
klaim lelaki, yang lalu disulap menjadi klaim dunia. Kesepakatan
bersama.
Klaim ini terus mengambang di angkasa dunia. Klaim bahwa tugas lelaki
adalah sebagai arsitek yang meluruskan kebengkokan rusuk perempuan.
Klaim yang ternyata membutakan mata para lelaki, bahwa kebanyakan mereka
bukannya meluruskan tapi malah mematahkan. Tidak terpikir oleh para
lelaki, bahwa bengkok itu tidak akan pernah lurus. Ya, bengkok itu
selamanya tidak akan pernah lurus.
Satu pertanyaan besar untuk pernyataan saya “bahwa bengkok itu tidak
akan pernah lurus” adalah; apa yang salah dengan ‘bengkok’? Apakah
keindahan itu mesti selalu lurus?
Hal yang tidak mungkin bisa disangkal adalah bahwa lelaki adalah
pemimpin perempuan. Itu sudah terukir di kitab suci. Tetapi, tidak
serta-merta bahwa lelaki adalah pemimpin perempuan, lantas lelaki naik
tahta menjadi sosok raja yang mesti “iya” segala inginnya.
Sampai-sampai, sang pemimpin itu melakukan pemaksaan bahwa kebengkokan
harus gegas diluruskan. Kepemimpinan yang membutakan sang raja, bahwa
tangan besi pun adalah halal adanya.
Tidakkah kita, para lelaki, berpikir bahwa—sadar maupun tidak—kitalah
yang memiliki andil menjebloskan perempuan itu ke liang neraka? Tidakkah
kita berpikir bahwa akan selalu ada resiprokal di dunia ini. Tidak ada
akibat tanpa sebab. Mungkin, perempuan itu tidak tahan dengan “tangan
besi” sang raja.
Sedangkan ketidakpatuhan perempuan (istri) kepada lelaki (suami) mampu
mengundang marah malaikat. Kita (para lelaki) kadang tidak menyadari
bahwa mereka punya batas kapasitas. Pemaksaan kitalah yang menyebabkan
mereka berada pada satu pilihan yang memang satu-satunya; memberontak.
Dan imbalan dari pemberontakan itu adalah laknat malaikat.
Oya, saya tidak sedang menjadi seorang feminis. Bukan pula seorang yang
sudah berpengalaman “menangani” perempuan. Sama sekali bukan. Ini
tersebab karena saya pun adalah aktor yang telah beberapa kali membuat
kecewa perempuan, khususnya ibu saya.
Waktu kecil bahkan hingga kini—tanpa saya sadari—saya masih saja menanam
duri kepada ibu saya. Saya selalu mengeluh dengan “pelayanan” ibu saya,
mulai dari cucian yang tidak bersih, makanan yang tidak enak (sesuai
lidah saya tentunya), dan lain-lain. Saya pun lalu menjumpai ibu saya
marah, meski lebih banyak diamnya. Saya tidak berpikir, bahwa ulah saya
itu pelan-pelan telah menempatkan ibu saya di posisi yang sulit,
yakni—mungkin—mendapat laknat malaikat. Itu saya lakukan terus-menerus,
hingga barangkali kejengkelan ibu saya sudah bertumpuk dan beranak
pinak.
Beberapa waktu terakhir ini, saya selalu menyempatkan diri memasak.
Meskipun masakan yang saya buat masih sederhana, dan baru lidah saya
yang mengatakan bahwa masakan itu layak disebut sedap. Dari aktivitas
ini, saya lalu menemukan pelajaran permata. Bukan semata pelajaran tata
boga, tetapi lebih dari itu. Dari dapur inilah, saya menemukan bahwa
adalah cinta yang membuat perempuan (istri sekaligus ibu) bertahan dan
menghabiskan separuh usianya untuk berada di dapur; memasak makanan.
Di dapur, saya kadang mengiris bawang, cabai, dan bumbu lainnya. Bawang
merah mampu memedihkan mata, bawang putih baunya luar biasa, cabai pun
takayal memedihkan segala. Belum lagi cipratan minyak goreng panas,
baunya terasi, asap yang menyergap. Mata memerah, keringat keluar, belum
bau-bauan yang menusuk hidung sampai menimbulkan bersin, terkadang jari
teriris pisau, adalah pengalaman yang saya dapatkan ketika beraktivitas
di dapur. Luar biasa besar pengorbanan yang mesti disajikan hanya untuk
mendapatkan satu atau dua porsi makanan.
Saya lantas bertanya kepada diri sendiri, bagaimana bisa seorang
perempuan (istri sekaligus ibu) melakukan ini semua? Bahkan bukan sekali
dua, melainkan separuh masa usia! Saya pun bertanya kepada diri saya
sendiri (mewakili kaum lelaki), bagaimana bisa saya marah-marah
seenaknya tersebab makanan yang tidak sesuai dengan keinginan saya?
Bagaimana bisa saya mengeluh sampai berpeluh? Bagaimana bisa? Bagaimana
bisa? Bagaimana bisa?
Gampang saja bagi lelaki (anak atau suami) untuk memberikan penilaian
tentang masakan. Gampang saja bagi lelaki untuk mengatakan bahwa masakan
itu belum layak dikatakan enak, dan lain-lain. Dan secara manusiawi,
kita pun seharusnya memaklumi, jengkel atau marahnya seorang perempuan
(istri sekaligus ibu) ketika mendapati diri kita sebagai sosok yang
tidak memiliki kepekaan menghargai.
Itu baru dari memasak, belum dari mencuci, menyetrika, membersihkan
rumah, mengelola keuangan, dan sebagainya. Bisakah lelaki mengerjakan
itu semua dalam satu waktu? Patutkah kita marah-marah kepada mereka
atas apa yang mereka kerjakan, sementara Nabi Saw berkata bahwa bentuk
jihad perempuan adalah di rumahnya?
Tuhan, ampuni saya yang sudah menjelma lelaki durhaka. Lelaki yang sudah
menyulap jihad mereka menjadi sesuatu yang tidak berharga. Lelaki yang
telah menjungkalkan mereka ke liang neraka, dengan ingin dan pinta yang
bahkan tidak sesuai realita.
Tuhan, muliakanlah para ibu, para istri, dan para perempuan. Tuhan,
berikanlah kepekaan hebat kepada para lelaki. Jadikanlah kami lelaki
yang selalu menghargai. Amiin.